Beberapa waktu lalu ketika saya diberi kesempatan oleh Allah swt mengunjungi negeri seribu wali, Hadramaut, Yaman, saya mendapatkan pengalaman yang cukup berkesan karena belum pernah saya alami sebelumnya. Ketika itu kami (saya dan keluarga) menaiki bus dari kota Hadramaut menuju San’a, ibukota Yaman.
Sebelum bus berangkat, terjadi sebuah insiden yang cukup membuat saya ketakutan. Terjadi kesalahpahaman antar penumpang. Seorang penumpang merasa dirugikan karena dia telah membeli tiket dengan nomor kursi tertentu yang ternyata telah diduduki oleh penumpang lain. Penumpang yang terlebih dahulu duduk pun tidak mau kalah dan mempertahankan haknya. Akhirnya pertengkaran pun tak terelakkan dan mereka pun beradu mulut termasuk supir ikut dimaki-maki.
Saya semakin ketakutan karena rata-rata orang Yaman membawa semacam pedang atau pisau yang agak besar yang diselipkan di bajunya. Itu adalah tradisi yang sudah biasa ditemukan di sana. Dalam suasana yang memanas tersebut, tiba-tiba salah seorang penumpang meneriakkan “ Shallu ‘alan Nabi Muhammad”. Sontak orang-orang yang nyaris baku hantam tersebut menghentikan pertengkaran mereka dan menjawab seruan untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad saw. Mereka pun saling bermaafan dan berpelukan satu sama lain dan melanjutkan perjalanan bersama-sama menuju tujuan masing-masing seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumya.
Peristiwa ini cukup membuat saya terkesima. Maklum, selama di Indonesia saya belum pernah mengalami hal ini sebelumnya, walaupun hal ini sudah biasa terjadi di negeri-negeri Arab. Tetapi di sinilah saya dapat merasakan dahsyatnya shalawat. Shalawat ke atas nabi ternyata bukan semata-mata wujud rasa cinta atau pujian terhadap baginda nabi, namun juga memiliki kekuatan yang mampu meredam amarah seseorang,seperti kisah di atas.
Setidaknya ada 39 keistimewaan shalawat yang tertulis di kitab “Khasaisul Ummati Muhammad” karya Dr. Muhammad Alawi Al Maliky Al Hasany. Diantaranya si pembaca dijauhkan dari sepuluh kejahatan, dosa-dosanya akan diampuni serta mengeluarkan seseorang dari kebekuan hati. Dikatakan pula, shalawat bisa menjadi penuntun kaki si pembaca menuju jembatan di atas neraka Jahanam dan melewatinya dengan mudah. Sebuah hadits dari Sa’id bin Musayyab dari Abdurrahman bin Samrah tentang mimpi Nabi Muhammad saw. Beliau bersabda, “ Aku bermimpi bertemu salah seorang umatku yang merangkak melewati jembatan di atas neraka Jahanam. Terkadang ia merayap, dan terkadang ia bergantung, kemudian datanglah shalawat yang dibacakannya untukku, maka shalawat itu membuatnya berdiri kokoh dan selamat dari jembatan neraka jahanam itu”. (HR Abu Musa Al Madini).
Apa yang membuat shalawat terhadap Nabi begitu mendapat tempat istimewa dalam Islam? Tak lain adalah karena Nabi Muhammad adalah manusia paling utama yang sangat dikasihi oleh Allah SWT. Manusia yang karenanyalah bumi diciptakan. Allah SWT sendiri pun melantunkan shalawat terhadap Nabi Muhammad saw dan memerintahkan makhluk-makhluk-Nya untuk senantiasa bershalawat sebagai bentuk pujian dan penghormatan atas junjungan kita tersebut. Disebutkan dalam Al Quran :
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatnya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” QS Al-Ahzab : 56
Lalu, apakah shalawat yang kita bacakan kepada beliau menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw membutuhkan doa dari umatnya? Suatu ketika seorang teman bercerita pada saya. Dia pernah ditanyai oleh seorang non muslim tentang shalawat yang biasa dilantunkan kaum muslimin. “ Berarti Muhammad pun masih memerlukan doa dari umatnya agar dia selamat. Buktinya kalian orang-orang Islam harus membacakan shalawat untuknya.” Kira-kira demikian ucapan yang bernada menghina yang dikatakan oleh manusia yang belum diberi hidayah ini. Sayangnya teman saya tersebut tidak mampu menjawab. Dia hanya terdiam karena benar-benar tidak mengerti apa jawabannya.
Seringkali shalawat terhadap Nabi ditafsirkan sebagai bentuk kebutuhan Nabi Muhammad saw dari umatnya. Utamanya oleh sebagian kaum non muslim hal ini digunakan sebagai celah kelemahan agama Islam. Dan sayangnya banyak kaum muslim tidak mengerti untuk apa shalawat itu dibacakan. Sesungguhnya, bukanlah Nabi yang membutuhkan shalawat itu dibacakan untuk beliau, tetapi kitalah yang membutuhkan imbalan pahala dari Allah atas shalawat yang dibacakan. Sebuah hadits menjelaskan : “Dari Abdullah bin Amar bin Al Ash r.a., sesungguhnya dia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : ‘Barangsiapa yang membaca shalawat sekali padaku, maka Allah memberikan rahmat sepuluh padanya’.” (H.R. Muslim).
Tak heran jika di dalam majelis-majelis banyak didengungkan shalawat ke atas nabi sebagai puji-pujian. Tetapi sangat disayangkan karena begitu banyak orang yang enggan melantunkan shalawat. Entah itu karena ketidaktahuannya atau memang merasa enggan untuk membacanya. Padahal telah disebutkan di dalam hadits, dari Ali r.a berkata : Rasulullah saw bersabda : “Orang yang bakhil adalah orang yang jika mendengar namaku disebut sedangkan ia tidak membaca shalawat kepadaku.” (H.R Tirmidzi).
Sebenarnya bukanlah suatu hal yang sulit ataupun berat jika kita mau membacanya. Ini adalah masalah kebiasaan. Mulut yang biasa digunakan untuk mengucapkan sesuatu yang kotor misalnya, akan dengan mudah terucapkan ketika seseorang terkejut. Namun alangkah indahnya bila kata-kata yang biasa terucapkan adalah kata-kata yang baik terlebih lagi shalawat.
Bacaan shalawat juga merupakan bentuk cinta seorang umat kepada sang penunjuk kebenaran. Shalawat dapat menambah kecintaan seorang muslim kepada nabinya karena shalawat merupakan salah satu ikatan iman yang hanya bisa tercipta dengan menyebut-nyebutnya. Seorang pecinta akan dikatakan mencintai seseorang atau sesuatu apabila orang tersebut selalu menyebut-nyebut dan mengingatnya. Sebagaimana seseorang yang mengidolakan artis, dia akan mengoleksi segala sesuatu tentang idolanya tersebut. Bahkan, ia akan mengejar-ngejarnya dan mengelu-elukannya bila bertemu langsung di hadapannya. Terkadang konyol kita melihat orang-orang yang tergila-gila terhadap seseorang yang mungkin tidak lebih baik dari orang yang mengidolakan, karena ketampanannya, kecantikannya ataupun karena kemampuan bernyanyi atau aktingnya. Kalau kita bisa begitu mengagumi sosok manusia-manusia itu, seharusnya kita lebih mengagumi sosok Rasulullah yang sempurna di mata Allah dan manusia.
Idola-idola masa kini didominasi oleh orang-orang kafir dan fasik dan yang mengidolakannya tak lain dan tak bukan adalah orang-orang Islam. Kenapa bukan nabi Muhammad saw yang kita jadikan idola? Sosok sempurna yang sangat patut dijadikan teladan. Ucapan-ucapan cinta Rasul seharusnya tidak hanya menjadi slogan di bulan Maulud saja atau dijadikan lagu-lagu penyemarak bulan Ramadhan saja tanpa ada penghayatan di dalamnya.
Jika rasa cinta terhadap Nabi Muhammad sudah cukup tertanam, maka secara otomatis lidah ini akan terus-menerus memujinya dan mengingat-ingatnya. Apalah yang memberatkan lidah ini untuk bershalawat? Lupakah kita bagaimana Nabi Muhammad di akhir hayatnya masih memohon kepada Allah agar meringankan sakitnya pencabutan nyawa untuk kita, umatnya? Airmata darah sekalipun tak cukup membalas cinta Nabi Muhammad kepada umatnya. Namun cukup dengan bershalawat seolah semua itu terbayar, bahkan Allah membalas bacaan sholawat seseorang dengan sholawat ke atas si pembaca sebanyak sepuluh kali lipat.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam Ghozali, dikatakan bahwa dilipatgandakannya pahala shalawat adalah karena shalawat itu bukan hanya mengandung satu kebaikan saja melainkan mengandung banyak kebaikan yang mencakup diantaranya : pembaruan iman kepada Allah karena sebagai wujud dzikrullah, pembaharuan iman dan pengagungan terhadap Rasulullah saw, serta menunjukkan kepatuhan dan kecintaan terhadap Allah dan Rasulnya.
Sebuah doa yang sebelumnya dibacakan shalawat juga akan mendapatkan prioritas dari Allah untuk dikabulkan. Perintah Rasulullah sendiri dalam sebuah hadits bahwa hendaknya seseorang yang berdoa dimulai dengan memuji Allah, lalu membaca shalawat kepada Nabi saw baru kemudian dilanjutkan dengan doa. Alangkah ruginya manusia yang enggan membaca shalawat karena begitu banyak pahala dan keutamaan yang ditawarkan. Semoga lidah kita akan semakin ringan mengucapkan shalawat. Semoga lisan ini juga akan selalu spontan menjawab dengan shalawat setiap disebutkannya nama Rasulullah saw agar kita tidak digolongkan sebagai manusia-manusia bakhil karena tidak mau memuji sang pembawa risalah. Untuk itu, ketika shalawat kepada Nabi dilantunkan, jawablah agar kita mendapatkan keberkahan. Shallu ‘alan Nabi Muhammad. Allahumma shalli wasallim wa barik ‘alaih. Fatimah Alatas SE
RAMADHAN MENYINARI HATI
Republik Gulita, demikian ditulis sebuah koran ibu kota. Republik kita sering gelap gulita belakangan ini. Listriknya sering mati mendadak. Byarpet, kata orang.
Kegelapan itu tidak nyaman. Kegelapan membuat orang takut. Pikiran jadi kusut, sumpek, dan dada terasa sesak. Di dalam kegelapan kita meraba-raba. Tidak tahu jalan. Tersesat. Kita tidak dapat membedakan antara kotoran dan makanan. Dan kita bisa celaka. Mungkin menabrak, mungkin tersungkur, mungkin masuk jurang. Karena itu, dalam kegelapan, orang selalu mencari sinar, cahaya.
Al-Quran menyebut kondisi kekafiran, kefasikan, kesesatan dan kezhaliman, yang semuanya terangkum dalam satu kata, JAHILIYAH, sebagai kegelapan. Allah mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Cahaya Islam. Allah berfirman:
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 257)
Kegelapan jenis ini adalah kegelapan maknawi. Sedang kegelapan yang disinggung di awal tulisan adalah kegelapan inderawi.
Dibanding kegelapan inderawi, kegelapan maknawi lebih berbahaya. Karena kecelakaan yang ditimbulkannya lebih dahsyat dan lebih langgeng. Kalau kegelapan inderawi hanya menyebabkan kecelakaan di dunia, kegelapan maknawi mengakibatkan kecelakaan di dunia dan juga di akhirat untuk waktu yang jauh lebih lama, bahkan mungkin tak terbatas. Mudah-mudahan republik kita hanya mengalami kegelapan inderawi, tapi tidak kegelapan maknawi.
Namun kalau kita amati beberapa kejadian belakangan ini, jangan-jangan kita sudah masuk pula dalam kegelapan maknawi. Beberapa waktu lalu, di kawasan Ragunan, Jakarta, orang menemukan mayat terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Bagian-bagian itu didapati dalam dua koper dan tas plastik.
Ini adalah bentuk kekejaman yang luar biasa. Bahkan lebih biadab daripada binatang. Pelakunya sudah pasti berada dalam kegelapan yang pekat, yang menutupi hati dan akalnya sehingga dia tidak bisa lagi melihat mana yang benar dan mana yang salah. Kemanusiaannya telah hilang, dia berubah jadi binatang.
Celakanya, kejadian seperti itu (mutilasi) bukanlah kali yang pertama. Sebelumnya telah terjadi hal yang sama lebih dari sekali. Ada yang bahkan memotong-motong daging korbannya untuk dimakan sendiri.
Beberapa waktu yang lalu sebuah stasiun televisi menayangkan berita tentang pertunjukan tari erotis yang diselenggarakan di kota santri Pekalongan, Jawa Tengah,. Hebatnya, lokasi panggung tari-tarian dengan pakaian sangat minim dengan liak liuk sensual itu tepat berada di depan Masjid Jami’. Yang mengherankan adalah, peristiwa yang sebenarnya melanggar aturan perundangan itu dibiarkan saja oleh aparat yang bertugas menjaga acara tersebut.
Beberapa hari kemudian, di kota kembang Bandung, Jawa Barat, sejumlah perempuan molek melakukan peragaan busana, termasuk busana-busana yang seksi, di tengah jalan. Tepatnya di pembatas jalur ganda (double way). Acara yang biasanya diadakan di tempat tertutup ini rupanya sudah mulai tidak tahan untuk go public.
Dua kejadian ini melengkapi kejadian-kejadian sebelumnya yang merupakan bentuk atau bagian dari gerakan pembebasan (liberalisasi), khususnya dalam soal pornografi dan pornoaksi. Begitu kuatnya nafsu liberalisasi itu sehingga mereka pun memperjuangkan dihapuskannya Badan Sensor Film (BSF). Padahal, jika dibandingkan pada masa-masa sebelumnya, tayangan-tayangan film sekarang sudah sangat keras dan cukup vulgar. Berarti, mereka menginginkan dihilangkannya sama sekali pembatasan sehingga mereka mereka bebas sebebas-bebasnya membuat film yang paling hot, vulgar dan paling keras sekalipun. Untunglah, usaha mereka kandas.
Sebagai pelengkap, seorang dari putri Indonesia telah “berhasil” manggung di atas ajang Miss Universe, yang salah satu mata acaranya adalah mewajibkan para peserta berpose dengan pakaian paling minim untuk dinilai para juri. Ini adalah hasil dari perjuangan bertahun-tahun mereka. Kalau dulu masih banyak yang menentang, sekarang mana tahan! Buldozernya sudah terlalu berat untuk dilawan, rupanya.
Ini menambah panjang daftar pengumbaran nafsu hewani lainnya. Hampir setiap hari kita disuguhi pamer kerakusan dari pada petinggi kita. Sudah kaya masih minta tambahan lagi. Kalau perlu dengan memeras orang lain, atau menguras uang negara. Lihatlah sederet anggota parlemen kita. Mereka yang seharusnya menjadi pengawas pemerintah, justru kini ramai-ramai menjual amanah, berkorupsi.
CAHAYA ILAHI
Mereka berada dalam kegelapan. Mereka, dan kita juga, butuh pada cahaya, cahaya ilahi. Cahaya ilahi itu seperti dijelaskan dalam firman Allah:
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang penuh berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tidak hanya diterpa matahari dari timur saja atau dari barat saja (melainkan terkena matahari dari arah barat dan timur), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nur: 35)
Itulah cahaya Allah. Yang minyaknya saja sudah berkilau-kilau, berasal dari pohon yang senantiasa terkena matahari. Cahaya di atas cahaya, berlapis-lapis. Cahaya yang sangat kuat sinarnya.
Ramadhan adalah kesempatan yang paling baik untuk mencari cahaya ilahi itu. Sebab, Ramadhan adalah bulan penuh barokah. Bulan di mana cahaya ilahi banyak berpendaran. Di bulan ini waktu siang dan malam hari terasa lebih berkilau-kilau. Hati terasa lebih lapang dan bercahaya sehingga ibadah lebih mudah dilakukan.
Tentu saja tidak semua orang merasakan cahaya dan dorongan melakukan amal ibadah. Hanya orang Islam. Orang Islam pun tidak seluruhnya, yang bertakwa dan beriman dengan baik. Semakin baik iman dan ketakwaannya, semakin dia merasakan cahaya ilahi.
Betapa tidak. Di bulan Ramadhan syetan-syetan dibelenggu tangan dan kakinya. Pintu-pintu langit alias sorga dibuka, membuat aroma sorga tercium di mana-mana. Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Kemudian ketika masuk bulan Ramadhan, pintu-pintu langit (sorga) dibuka, pintu-pintu Jahanam ditutup, dan syetan-syetan dibelenggu.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Tetapi, sekali lagi, aroma sorga hanya tercium oleh orang mukmin yang bertakwa.
Di samping itu, banyak malaikat yang turun ke bumi di bulan suci ini. Terutama pada malam Lailatul Qadr. Mereka berdesakan sehingga tak sejengkal pun dari bumi kecuali ada malaikatnya. Kehadiran mereka tentu membawa serta barokah, rahmat dan cahaya ilahi.
Cahaya ilahi berpendaran pada bulan Ramadhan karena amalan-amalan di bulan tersebut potensial mendatangkan cahaya di hati. Terutama puasa. Inilah salah satu dari akhlak ketuhanan (ash-shamadiyah) yang dijalankan para hamba. Dengan berpuasa, mereka meniru perilaku malaikat yang tidak memiliki syahwat perut dan farji (seksual).
Dengan sifat puasa yang sangat rahasia (tidak ada yang tahu bahwa seseorang berpuasa atau tidak kecuali Allah), maka inilah amalan yang sampai langsung pada-Nya, tanpa terbendung oleh siapapun. Sedang amal-amal lain mungkin saja terbendung oleh riya’, pamer pada orang lain. Itulah sebabnya, Allah berfirman dalam hadis qudsi:
الصوم لي وأنا أجزي به
“Puasa itu milik-Ku, dan aku mengganjarnya sendiri.“
Dengan kata lain, Allahlah yang menentukan berapa kadar pahala puasa seseorang. Mungkin 10 kali lipat, mungkin 70 kali lipat, mungkin pula lebih dari itu, hingga kadar tak terbatas, terserah kehendak-Nya.
Karena sifatnya yang berhubungan langsung dengan Allah itu pula, orang-orang berpuasa disebut sebagai pengelana (as-saaihun). Yakni mengelana pada Allah melalui lorong lapar dan dahaganya.
Oya, kosongnya perut atau rasa lapar itu sendiri mengandung hikmah yang besar. Di antaranya ialah, seperti ditulis Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin, membuat hati jadi bening, bersinar, dan mata hati jadi terbuka. Berkata Abu Yazid Al-Busthami, “Rasa lapar itu (ibarat) awan. Ketika seorang hamba lapar, dia menghujani hatinya dengan hikmah.” Ini sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w., “Cahaya hikmah itu (ada pada) rasa lapar.”
Ini masih ditambah pula dengan amalan-amalan yang biasa dilakukan di bulan Ramadhan, seperti salat tarawih, zikir dan tadarus Al-Quran. Dengan sangat jelas Nabi s.a.w. menegaskan bahwa membaca Al-Quran dapat mendatangkan cahaya. Beliau bersabda, “Sinarilah rumahmu dengan membaca Al-Quran.”
TIGA TAHAPAN
Alhasil, Ramadhan adalah kesempatan yang paling baik untuk mengubah hati yang gelap menjadi bersinar. Kata seorang ulama, “Bulan Rajab itu untuk menyucikan badan, bulan Sya’ban untuk menyucikan hati, dan bulan Ramadhan untuk menyucikan ruh.” Ulama lain berkata, “Sungguh bulan Rajab itu untuk memohon ampun dari dosa-dosa, bulan Sya’ban untuk mereparasi hati dari cacat-cacat, Ramadhan untuk menerangi hati, dan Lailatul Qadr untuk taqarrub pada Allah.”
Jadi, pada bulan Rajab, para ulama membersihkan diri badan mereka dari dosa-dosa yang ada dengan memohon ampun nan tulus pada Allah. Dengan melakukan hal itu, mereka sebenarnya telah mulai membersihkan hati dari kotoran-kotoran. Sebab, ketika seorang hamba melakukan dosa, maka di hatinya muncul noktah. Semakin besar dosa yang diperbuat, semakin besar noktah itu. Semakin banyak dosa, semakin banyak pula noktahnya.
Meski demikian, hati belum sepenuhnya bersih. Mungkin masih ada kotoran-kotoran berupa penyakit-penyakit hati semacam takabur, hasud, benci dan semacamnya. Pada bulan Sya’ban mereka mulai membersihkan kotoran-kotoran sisa ini melalui mujahadah (memerangi hawa nafsu) dan riyadhah (penggemblengan akhlak-akhlak mulia).
Ketika hati menjadi bersih, hati mulai bersinar. Sebab, kata orang, bersih itu indah, bersih itu bercahaya. Hanya saja, cahaya itu belum berkilau. Nah, pada bulan Ramadhan, mereka mulai menggosok hati yang sudah bersih itu supaya mengkilap. Yakni dengan berpuasa dan menjalankan amalan-amalan lain, baik amalan zhahir maupun batin.
Begitulah para ulama, khususnya salafunash shalihun. Mereka mempersiapkan diri menyongsong bulan Ramadhan sejak dua bulan sebelumnya. Sedang kita mungkin belum sempat melakukan ketiga tahapan tadi hingga Ramadhan tiba. Alih-alih membersihkan badan dari dosa-dosa di bulan Rajab, justru kita menambah kotor badan kita dengan perbuatan-perbuatan dosa yang baru. Mungkin kita membaca istighfar pada pagi dan sore, tapi bacaan itu tidak menghunjam di hati, melainkan hanya sebatas terucap di mulut.
Karena itu, marilah kita lakukan ketiga tahapan itu sekaligus pada bulan Ramadhan ini. Kita bersihkan badan kita dari dosa-dosa dengan memperbanyak istighfar, serta menjauhi dosa-dosa baru. Kita bersihkan hati kita, dan kita sinari hati kita dengan berpuasa, salat tarawih, membaca Al-Quran dan lain-lain. Mari kita rengkuh cahaya ilahi di bulan suci ini. Hamid Ahmad
Kegelapan itu tidak nyaman. Kegelapan membuat orang takut. Pikiran jadi kusut, sumpek, dan dada terasa sesak. Di dalam kegelapan kita meraba-raba. Tidak tahu jalan. Tersesat. Kita tidak dapat membedakan antara kotoran dan makanan. Dan kita bisa celaka. Mungkin menabrak, mungkin tersungkur, mungkin masuk jurang. Karena itu, dalam kegelapan, orang selalu mencari sinar, cahaya.
Al-Quran menyebut kondisi kekafiran, kefasikan, kesesatan dan kezhaliman, yang semuanya terangkum dalam satu kata, JAHILIYAH, sebagai kegelapan. Allah mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Cahaya Islam. Allah berfirman:
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 257)
Kegelapan jenis ini adalah kegelapan maknawi. Sedang kegelapan yang disinggung di awal tulisan adalah kegelapan inderawi.
Dibanding kegelapan inderawi, kegelapan maknawi lebih berbahaya. Karena kecelakaan yang ditimbulkannya lebih dahsyat dan lebih langgeng. Kalau kegelapan inderawi hanya menyebabkan kecelakaan di dunia, kegelapan maknawi mengakibatkan kecelakaan di dunia dan juga di akhirat untuk waktu yang jauh lebih lama, bahkan mungkin tak terbatas. Mudah-mudahan republik kita hanya mengalami kegelapan inderawi, tapi tidak kegelapan maknawi.
Namun kalau kita amati beberapa kejadian belakangan ini, jangan-jangan kita sudah masuk pula dalam kegelapan maknawi. Beberapa waktu lalu, di kawasan Ragunan, Jakarta, orang menemukan mayat terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Bagian-bagian itu didapati dalam dua koper dan tas plastik.
Ini adalah bentuk kekejaman yang luar biasa. Bahkan lebih biadab daripada binatang. Pelakunya sudah pasti berada dalam kegelapan yang pekat, yang menutupi hati dan akalnya sehingga dia tidak bisa lagi melihat mana yang benar dan mana yang salah. Kemanusiaannya telah hilang, dia berubah jadi binatang.
Celakanya, kejadian seperti itu (mutilasi) bukanlah kali yang pertama. Sebelumnya telah terjadi hal yang sama lebih dari sekali. Ada yang bahkan memotong-motong daging korbannya untuk dimakan sendiri.
Beberapa waktu yang lalu sebuah stasiun televisi menayangkan berita tentang pertunjukan tari erotis yang diselenggarakan di kota santri Pekalongan, Jawa Tengah,. Hebatnya, lokasi panggung tari-tarian dengan pakaian sangat minim dengan liak liuk sensual itu tepat berada di depan Masjid Jami’. Yang mengherankan adalah, peristiwa yang sebenarnya melanggar aturan perundangan itu dibiarkan saja oleh aparat yang bertugas menjaga acara tersebut.
Beberapa hari kemudian, di kota kembang Bandung, Jawa Barat, sejumlah perempuan molek melakukan peragaan busana, termasuk busana-busana yang seksi, di tengah jalan. Tepatnya di pembatas jalur ganda (double way). Acara yang biasanya diadakan di tempat tertutup ini rupanya sudah mulai tidak tahan untuk go public.
Dua kejadian ini melengkapi kejadian-kejadian sebelumnya yang merupakan bentuk atau bagian dari gerakan pembebasan (liberalisasi), khususnya dalam soal pornografi dan pornoaksi. Begitu kuatnya nafsu liberalisasi itu sehingga mereka pun memperjuangkan dihapuskannya Badan Sensor Film (BSF). Padahal, jika dibandingkan pada masa-masa sebelumnya, tayangan-tayangan film sekarang sudah sangat keras dan cukup vulgar. Berarti, mereka menginginkan dihilangkannya sama sekali pembatasan sehingga mereka mereka bebas sebebas-bebasnya membuat film yang paling hot, vulgar dan paling keras sekalipun. Untunglah, usaha mereka kandas.
Sebagai pelengkap, seorang dari putri Indonesia telah “berhasil” manggung di atas ajang Miss Universe, yang salah satu mata acaranya adalah mewajibkan para peserta berpose dengan pakaian paling minim untuk dinilai para juri. Ini adalah hasil dari perjuangan bertahun-tahun mereka. Kalau dulu masih banyak yang menentang, sekarang mana tahan! Buldozernya sudah terlalu berat untuk dilawan, rupanya.
Ini menambah panjang daftar pengumbaran nafsu hewani lainnya. Hampir setiap hari kita disuguhi pamer kerakusan dari pada petinggi kita. Sudah kaya masih minta tambahan lagi. Kalau perlu dengan memeras orang lain, atau menguras uang negara. Lihatlah sederet anggota parlemen kita. Mereka yang seharusnya menjadi pengawas pemerintah, justru kini ramai-ramai menjual amanah, berkorupsi.
CAHAYA ILAHI
Mereka berada dalam kegelapan. Mereka, dan kita juga, butuh pada cahaya, cahaya ilahi. Cahaya ilahi itu seperti dijelaskan dalam firman Allah:
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang penuh berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tidak hanya diterpa matahari dari timur saja atau dari barat saja (melainkan terkena matahari dari arah barat dan timur), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nur: 35)
Itulah cahaya Allah. Yang minyaknya saja sudah berkilau-kilau, berasal dari pohon yang senantiasa terkena matahari. Cahaya di atas cahaya, berlapis-lapis. Cahaya yang sangat kuat sinarnya.
Ramadhan adalah kesempatan yang paling baik untuk mencari cahaya ilahi itu. Sebab, Ramadhan adalah bulan penuh barokah. Bulan di mana cahaya ilahi banyak berpendaran. Di bulan ini waktu siang dan malam hari terasa lebih berkilau-kilau. Hati terasa lebih lapang dan bercahaya sehingga ibadah lebih mudah dilakukan.
Tentu saja tidak semua orang merasakan cahaya dan dorongan melakukan amal ibadah. Hanya orang Islam. Orang Islam pun tidak seluruhnya, yang bertakwa dan beriman dengan baik. Semakin baik iman dan ketakwaannya, semakin dia merasakan cahaya ilahi.
Betapa tidak. Di bulan Ramadhan syetan-syetan dibelenggu tangan dan kakinya. Pintu-pintu langit alias sorga dibuka, membuat aroma sorga tercium di mana-mana. Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Kemudian ketika masuk bulan Ramadhan, pintu-pintu langit (sorga) dibuka, pintu-pintu Jahanam ditutup, dan syetan-syetan dibelenggu.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Tetapi, sekali lagi, aroma sorga hanya tercium oleh orang mukmin yang bertakwa.
Di samping itu, banyak malaikat yang turun ke bumi di bulan suci ini. Terutama pada malam Lailatul Qadr. Mereka berdesakan sehingga tak sejengkal pun dari bumi kecuali ada malaikatnya. Kehadiran mereka tentu membawa serta barokah, rahmat dan cahaya ilahi.
Cahaya ilahi berpendaran pada bulan Ramadhan karena amalan-amalan di bulan tersebut potensial mendatangkan cahaya di hati. Terutama puasa. Inilah salah satu dari akhlak ketuhanan (ash-shamadiyah) yang dijalankan para hamba. Dengan berpuasa, mereka meniru perilaku malaikat yang tidak memiliki syahwat perut dan farji (seksual).
Dengan sifat puasa yang sangat rahasia (tidak ada yang tahu bahwa seseorang berpuasa atau tidak kecuali Allah), maka inilah amalan yang sampai langsung pada-Nya, tanpa terbendung oleh siapapun. Sedang amal-amal lain mungkin saja terbendung oleh riya’, pamer pada orang lain. Itulah sebabnya, Allah berfirman dalam hadis qudsi:
الصوم لي وأنا أجزي به
“Puasa itu milik-Ku, dan aku mengganjarnya sendiri.“
Dengan kata lain, Allahlah yang menentukan berapa kadar pahala puasa seseorang. Mungkin 10 kali lipat, mungkin 70 kali lipat, mungkin pula lebih dari itu, hingga kadar tak terbatas, terserah kehendak-Nya.
Karena sifatnya yang berhubungan langsung dengan Allah itu pula, orang-orang berpuasa disebut sebagai pengelana (as-saaihun). Yakni mengelana pada Allah melalui lorong lapar dan dahaganya.
Oya, kosongnya perut atau rasa lapar itu sendiri mengandung hikmah yang besar. Di antaranya ialah, seperti ditulis Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin, membuat hati jadi bening, bersinar, dan mata hati jadi terbuka. Berkata Abu Yazid Al-Busthami, “Rasa lapar itu (ibarat) awan. Ketika seorang hamba lapar, dia menghujani hatinya dengan hikmah.” Ini sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w., “Cahaya hikmah itu (ada pada) rasa lapar.”
Ini masih ditambah pula dengan amalan-amalan yang biasa dilakukan di bulan Ramadhan, seperti salat tarawih, zikir dan tadarus Al-Quran. Dengan sangat jelas Nabi s.a.w. menegaskan bahwa membaca Al-Quran dapat mendatangkan cahaya. Beliau bersabda, “Sinarilah rumahmu dengan membaca Al-Quran.”
TIGA TAHAPAN
Alhasil, Ramadhan adalah kesempatan yang paling baik untuk mengubah hati yang gelap menjadi bersinar. Kata seorang ulama, “Bulan Rajab itu untuk menyucikan badan, bulan Sya’ban untuk menyucikan hati, dan bulan Ramadhan untuk menyucikan ruh.” Ulama lain berkata, “Sungguh bulan Rajab itu untuk memohon ampun dari dosa-dosa, bulan Sya’ban untuk mereparasi hati dari cacat-cacat, Ramadhan untuk menerangi hati, dan Lailatul Qadr untuk taqarrub pada Allah.”
Jadi, pada bulan Rajab, para ulama membersihkan diri badan mereka dari dosa-dosa yang ada dengan memohon ampun nan tulus pada Allah. Dengan melakukan hal itu, mereka sebenarnya telah mulai membersihkan hati dari kotoran-kotoran. Sebab, ketika seorang hamba melakukan dosa, maka di hatinya muncul noktah. Semakin besar dosa yang diperbuat, semakin besar noktah itu. Semakin banyak dosa, semakin banyak pula noktahnya.
Meski demikian, hati belum sepenuhnya bersih. Mungkin masih ada kotoran-kotoran berupa penyakit-penyakit hati semacam takabur, hasud, benci dan semacamnya. Pada bulan Sya’ban mereka mulai membersihkan kotoran-kotoran sisa ini melalui mujahadah (memerangi hawa nafsu) dan riyadhah (penggemblengan akhlak-akhlak mulia).
Ketika hati menjadi bersih, hati mulai bersinar. Sebab, kata orang, bersih itu indah, bersih itu bercahaya. Hanya saja, cahaya itu belum berkilau. Nah, pada bulan Ramadhan, mereka mulai menggosok hati yang sudah bersih itu supaya mengkilap. Yakni dengan berpuasa dan menjalankan amalan-amalan lain, baik amalan zhahir maupun batin.
Begitulah para ulama, khususnya salafunash shalihun. Mereka mempersiapkan diri menyongsong bulan Ramadhan sejak dua bulan sebelumnya. Sedang kita mungkin belum sempat melakukan ketiga tahapan tadi hingga Ramadhan tiba. Alih-alih membersihkan badan dari dosa-dosa di bulan Rajab, justru kita menambah kotor badan kita dengan perbuatan-perbuatan dosa yang baru. Mungkin kita membaca istighfar pada pagi dan sore, tapi bacaan itu tidak menghunjam di hati, melainkan hanya sebatas terucap di mulut.
Karena itu, marilah kita lakukan ketiga tahapan itu sekaligus pada bulan Ramadhan ini. Kita bersihkan badan kita dari dosa-dosa dengan memperbanyak istighfar, serta menjauhi dosa-dosa baru. Kita bersihkan hati kita, dan kita sinari hati kita dengan berpuasa, salat tarawih, membaca Al-Quran dan lain-lain. Mari kita rengkuh cahaya ilahi di bulan suci ini. Hamid Ahmad
0 comments:
Post a Comment